Kegaduhan lembaga penegak hukum kembali terjadi antara KPK dan Polri.
Genderang perang seolah ditabuh. Sejarah kelam perseteruan antara KPK
dan Polri, dikenal dengan cicak vs buaya, kembali terulang. Awalnya KPK
menetapkan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan
(BG), lalu Polri menetapkan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW)
sebagai tersangka. Hubungan Polri dan KPK kembali memanas bak bara api
yang tak padam.
Rencana Presiden Joko Widodo melantik BG menjadi Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman terganjal. DPR juga sudah member lampu hijau. Tetapi status tersangka BG yang disematkan KPK menjadi batu sandungan. Bola panas ada di tangan presiden. Dan Presiden menghadapi pilihan sulit.
KPK mengumumkan status tersangka sehari sebelum uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Menurut penjelasan KPK, BG diduga tersangkut perkara korupsi. KPK juga menelusuri kemungkinan pencucian uang. Pengumuman KPK itu membuat Polri gerah. Panggilan KPK untuk sejumlah perwira Polri yang menjadi saksi kasus BG belum dipenuhi pada panggilan pertama.
Tak berselang lama, pimpinan KPK mulai ‘diserang’, khususnya Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Foto mirip Samad dan mirip serang putri Indonesia beredar. Bantahan Abraham dan KPK atas foto itu mendapat dukungan dari sejumlah ahli teknologi informasi. Foto itu palsu belaka.
Begitu pula laporan tim penasihat hukum Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung terkait dengan dugaan penyalahgunaan wewenang, pembiaran dan pemaksaan dari pimpinan KPK terhadap penetapan tersangka. Hantaman terhadap KPK tak berhenti. Plt Sekjen PDIP Hasto Kristianto menyampaikan Samad pernah mengadakan pertemuan dengan PDIP membahas cawapres pendamping Jokowi.
Habis Samad, serangan berikutnya mengarah ke BW. Pria yang puluhan tahun jadi aktivis LBH itu ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan mengarahkan saksi member keterangan palsu di sidang MK. Pelapornya adalah politisi PDIP, Sugianto Sabran. Anggota Komisi III DPR 2009-2014 itu membuat laporan ke Bareskrim pada Senin (19/1).
Laporan Sugianto bergerak relatif sangat cepat. Senin dilaporkan, Jum’atnya BW sudah ditangkap. Latar belakang Sugianto sebagai politisi PDIP membuat orang menunjuk fakta lain. Pendukung utama BG adalah partai ini, dan penangkapan BW dilakukan tepat dengan ultah Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. “Insya Allah tidak ada (perintah dari DPP PDIP, red). Demi Allah ini kehendak saya mencari kebenaran. Ini murni saya minta penegakan hukum,” kata Sugianto, Jumat (23/1).
Alkisah, perkara yang menjerat Bambang terjadi pada 2010 silam. BW belum di KPK, dan masih menjalani profesi advokat. Ia menjadi pengacara salah satu pasangan (Ujang Iskandar-Bambang Purwanto) calon kepala daerah Kotawaringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah. Klien Bambang melawan penetapan KPUD setempat yang menetapkan Sugianto dan pasangannya. Di persidangan MK, KPUD dibela pengacara antara lain Arteria Dahlan.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Ronny F Sompie mengatakan penetapan tersangka terhadap BW setelah penyidik Bareskrim mengantongi tiga alat bukti. Ketiga alat bukti itu adalah keterangan saksi, keterangan ahli, dan surat.
BW ditangkap saat mengantarkan anaknya ke sekolah. Masih menggunakan sarung dan baju koko, Bambang diboyong ke Bareskrim dengan tangan diborgol. Penyidik Bareskrim menjerat Bambang dengan Pasal 242 jo Pasal 55 KUHP. “Jadi pemeriksaan sekarang sebagai tersangka. Kasus ini berkaitan dengan Pemilukada 2010 di Kotawaringin Barat,” katanya.
Wakil Ketua KPK Adnan Pandupradja mengatakan telah bertemu dengan Wakapolri, Komjen Badrodin Haiti. Dalam pertemuan tersebut, Adnan menyampaikan keprihatinan dengan kondisi yang kian memanas antar lembaganya dengan Polri. Ia berharap perseteruan Polri dan KPK segera diakhiri. “Karena itu saya meminta beliau dalam rangka menjaga hubungan yang kondusif antara KPK dan Polri, mohon pak Bambang Widjojanto segera kembali ke kantor KPK,” ujarnya di gedung Bareskrim, seusai menemui Bambang Widjojanto.
Meski akhirnya penangguhan penahanan dikabulkan Wakapolri Komjen Badrodin Haiti, perlakuan terhadap Bambang dinilai sebagian orang sebagai bentuk kriminalisasi. BW dilepas dengan status tersangka dan harus menjalani pemeriksaan lanjutan. Dengan status tersangka itu, normatifnya BW akan diberhentikan dari komisioner KPK.
Terkesan dendam
Wakil Ketua Komisi I Tantowi Yahya menyesalkan perseteruan KPK dan Polri kembali terjadi. Polri dan KPK memiliki sejarah hubungan yang kurang harmonis sejak episode bernama cicak vs buaya muncul, dan seolah menjadi serial Jilid I dan II. Masyarakat kemudian khawatir jilid ketiga terbuka lebar setelah BG menjadi tersangka, disusul BW dilekatkan status yang sama.
“Hal ini terlihat sebagai balas dendam dari institusi polri, dimana beberapa hari lalu, Komjen Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dan sekarang, wakil ketua KPK ditangkap oleh Bareskrim, jadi terlihat ada suasana balas dendam antara dua institusi ini,” ujarnya di gedung DPR.
Politisi Partai Golkar itu menilai kasus yang mendera kedua institusi penegak hukum itu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla (JK). Menurutnya, presiden mesti meredam ketegangan kedua lembaga penegak hukum tersebut. Bukan tidak mungkin jika presiden tak memberikan sikap, ketengangan kedua lembaga tersebut akan berlangsung lama. Dampaknya, tugas KPK dalam pemberantasan korupsi bukan tidak mungkin bakal terganggu. “PR besar dari pemerintahan Jokowi dan JK unutk bisa meredam agar jangan sampai ada konflik kelembagaan,” ujarnya.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Tellie Gozelie mengatakan kasus yang menjerat kedua petinggi KPK dan Polri itu tak diwarnai konflik kepentingan lainnya. Ia berpendapat penangkapan terhadap Bambang Widjojanto sebagai itikad buruk dalam pemberantasan korupsi.
“Kita harus sadar bahwa selama ini KPK dipandang sebagai lembaga yang sudah teruji komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Penangkapan Wakil Ketua KPK jika kemudian tidak dengan bukti yang kuat akan dipandang sebagai upaya balas dendam dan tidak lebih sebagai reaksi kalap dan panik,” ujarnya.
Senator asal Bangka Belitung itu berpandangan menghadapi situasi tersebut, Presiden Jokowi mesti turun tangan sebagai kepala pemerintahan dan negara. Jokowi pun diharapkan mampu memberikan jalan keluar atas kebuntuan situasi tersebut. “Jangan sampai peristiwa yang melibatkan kepolisian dan KPK ini menjadi Cicak VS Buaya jilid III,” ujarnya.
Menanggapi situasi perseteruan KPK dan Polri, Presiden Jokowi meminta agar kedua lembaga penegak hukum itu tetap menjalankan proses hukum secara objektif sesuai aturan perundang-undangan. Jokowi meminta KPK dan Polri bekerja beriringan dan tetap menghindari gesekan satu sama lain. “Saya meminta agar institusi Polri-KPK tidak terjadi gesekan dalam menjalankan tugas masing-masing,” ujarnya seusai bertemu dengan pimpinan KPK dan Wakapolri di Bogor.
Pertemuan dengan pimpinan KPK dan Wakapolri itu digelar setelah penangkapan Bambang Widjojanto oleh penyidik Bareskrim. Sikap Presiden Jokowi terhadap situasi yang memanas seolah tak tegas. Padahal masyarakat membutuhkan tindakan nyata presiden agar membuat jalan tengah, sehingga perseteruan kedua lembaga dapat segera diatas. Sebab dengan begitu, pemberantasan korupsi bakal terus berjalan tanpa terganggu persoalan perseteruan kedua lembaga.
Kecam penangkapan
Penangkapan terhadap Bambang Widjojanto mendapat kecaman dari berbagai kalangan. Masyarakat pendukung pemberantasan korupsi berkumpul di Gedung KPK, Kuningan Jakarta Selatan. Ketua tim penasihat hukum Bambang Widjojanto, Nusyahbani Katjasungkana mengatakan penangkapan terhadap Bambang Widjojanto terbilang cepat. Ia mencatat, laporan Sugianto Sabran tertanggal 19 Januari. Kemdian surat penggeledahan diterbitkan Bareskrim tertanggal 20 Januari, sedangkan surat penangkapan tertanggal 22 Januari. “Jadi ini supercepat. Tapi entah kenapa tiap KPK memeriksa oknum polisi polanya berulang seperti kasus Susno Duadji,” ujarnya.
Nursyahbani berpandangan kasus yang menjerat Bambang Widjojanto tak terlepas dari peran lembaga antirasuah itu dalam menangani kasus dugaan gratifikasi yang menjerat calon Kapolri, BG. “Iya bisa dikatakan seperti itu, tapi ada konteks politiknya,” imbuhnya.
Ia mengancam, jika Bambang sampai 1 x 24 jam tak dilepas dari ‘cengkraman’ Bareskrim, tim penasihat hukum yang beranggotakan lebih dari 60 orang itu akan mengajukan penangguhan penahanan. Malahan, tim penasihat hukum Bambang Widjojanto bakal mengajukan praperadilan.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai penangkapan itu tak wajar. Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi W. Eddyono mengatakan dasar melakukan tindakan penangkapan adalah KUHAP. Merujuk Pasal 16 dan 17 KUHAP sudah terang benderang memberikan petunjuk penangkapan dilakukan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana setelah terdapat alat bukti yang cukup. “Dengan kata lain, proses penangkapan tidak dilakukan semudah membalikkan telapak tangan, ada syarat dan ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi polisi,” ujarnya.
Polisi dalam melakukan penangkapan mestinya melakukan proses yang mesti dijalani terlebih dahulu. Lagi pula, proses dari waktu laporan pelapor hingga penangkapan hanya berselang empat hari. Meski polisi berdalih telah memiliki tiga alat bukti yang cukup dalam penetapan tersangka, bukan sebaliknya langsung melakukan penangkapan.
Semestinya, penyidik dapat melakukan pemanggilan pertama dan kedua serta ketiga. Jika tak hadir, maka Polri dapat melakukan pemanggilan paksa. “Bila tidak (sesuai prosedur, red), itu artinya polisi telah menggunakan kekuasaanya secara sewenang-wenang. ICJR dengan ini mengecam penangkapan tanpa prosedur yang jelas oleh Polisi” pungkasnya.
Rencana Presiden Joko Widodo melantik BG menjadi Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman terganjal. DPR juga sudah member lampu hijau. Tetapi status tersangka BG yang disematkan KPK menjadi batu sandungan. Bola panas ada di tangan presiden. Dan Presiden menghadapi pilihan sulit.
KPK mengumumkan status tersangka sehari sebelum uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Menurut penjelasan KPK, BG diduga tersangkut perkara korupsi. KPK juga menelusuri kemungkinan pencucian uang. Pengumuman KPK itu membuat Polri gerah. Panggilan KPK untuk sejumlah perwira Polri yang menjadi saksi kasus BG belum dipenuhi pada panggilan pertama.
Tak berselang lama, pimpinan KPK mulai ‘diserang’, khususnya Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Foto mirip Samad dan mirip serang putri Indonesia beredar. Bantahan Abraham dan KPK atas foto itu mendapat dukungan dari sejumlah ahli teknologi informasi. Foto itu palsu belaka.
Begitu pula laporan tim penasihat hukum Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung terkait dengan dugaan penyalahgunaan wewenang, pembiaran dan pemaksaan dari pimpinan KPK terhadap penetapan tersangka. Hantaman terhadap KPK tak berhenti. Plt Sekjen PDIP Hasto Kristianto menyampaikan Samad pernah mengadakan pertemuan dengan PDIP membahas cawapres pendamping Jokowi.
Habis Samad, serangan berikutnya mengarah ke BW. Pria yang puluhan tahun jadi aktivis LBH itu ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan mengarahkan saksi member keterangan palsu di sidang MK. Pelapornya adalah politisi PDIP, Sugianto Sabran. Anggota Komisi III DPR 2009-2014 itu membuat laporan ke Bareskrim pada Senin (19/1).
Laporan Sugianto bergerak relatif sangat cepat. Senin dilaporkan, Jum’atnya BW sudah ditangkap. Latar belakang Sugianto sebagai politisi PDIP membuat orang menunjuk fakta lain. Pendukung utama BG adalah partai ini, dan penangkapan BW dilakukan tepat dengan ultah Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. “Insya Allah tidak ada (perintah dari DPP PDIP, red). Demi Allah ini kehendak saya mencari kebenaran. Ini murni saya minta penegakan hukum,” kata Sugianto, Jumat (23/1).
Alkisah, perkara yang menjerat Bambang terjadi pada 2010 silam. BW belum di KPK, dan masih menjalani profesi advokat. Ia menjadi pengacara salah satu pasangan (Ujang Iskandar-Bambang Purwanto) calon kepala daerah Kotawaringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah. Klien Bambang melawan penetapan KPUD setempat yang menetapkan Sugianto dan pasangannya. Di persidangan MK, KPUD dibela pengacara antara lain Arteria Dahlan.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Ronny F Sompie mengatakan penetapan tersangka terhadap BW setelah penyidik Bareskrim mengantongi tiga alat bukti. Ketiga alat bukti itu adalah keterangan saksi, keterangan ahli, dan surat.
BW ditangkap saat mengantarkan anaknya ke sekolah. Masih menggunakan sarung dan baju koko, Bambang diboyong ke Bareskrim dengan tangan diborgol. Penyidik Bareskrim menjerat Bambang dengan Pasal 242 jo Pasal 55 KUHP. “Jadi pemeriksaan sekarang sebagai tersangka. Kasus ini berkaitan dengan Pemilukada 2010 di Kotawaringin Barat,” katanya.
Wakil Ketua KPK Adnan Pandupradja mengatakan telah bertemu dengan Wakapolri, Komjen Badrodin Haiti. Dalam pertemuan tersebut, Adnan menyampaikan keprihatinan dengan kondisi yang kian memanas antar lembaganya dengan Polri. Ia berharap perseteruan Polri dan KPK segera diakhiri. “Karena itu saya meminta beliau dalam rangka menjaga hubungan yang kondusif antara KPK dan Polri, mohon pak Bambang Widjojanto segera kembali ke kantor KPK,” ujarnya di gedung Bareskrim, seusai menemui Bambang Widjojanto.
Meski akhirnya penangguhan penahanan dikabulkan Wakapolri Komjen Badrodin Haiti, perlakuan terhadap Bambang dinilai sebagian orang sebagai bentuk kriminalisasi. BW dilepas dengan status tersangka dan harus menjalani pemeriksaan lanjutan. Dengan status tersangka itu, normatifnya BW akan diberhentikan dari komisioner KPK.
Terkesan dendam
Wakil Ketua Komisi I Tantowi Yahya menyesalkan perseteruan KPK dan Polri kembali terjadi. Polri dan KPK memiliki sejarah hubungan yang kurang harmonis sejak episode bernama cicak vs buaya muncul, dan seolah menjadi serial Jilid I dan II. Masyarakat kemudian khawatir jilid ketiga terbuka lebar setelah BG menjadi tersangka, disusul BW dilekatkan status yang sama.
“Hal ini terlihat sebagai balas dendam dari institusi polri, dimana beberapa hari lalu, Komjen Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dan sekarang, wakil ketua KPK ditangkap oleh Bareskrim, jadi terlihat ada suasana balas dendam antara dua institusi ini,” ujarnya di gedung DPR.
Politisi Partai Golkar itu menilai kasus yang mendera kedua institusi penegak hukum itu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla (JK). Menurutnya, presiden mesti meredam ketegangan kedua lembaga penegak hukum tersebut. Bukan tidak mungkin jika presiden tak memberikan sikap, ketengangan kedua lembaga tersebut akan berlangsung lama. Dampaknya, tugas KPK dalam pemberantasan korupsi bukan tidak mungkin bakal terganggu. “PR besar dari pemerintahan Jokowi dan JK unutk bisa meredam agar jangan sampai ada konflik kelembagaan,” ujarnya.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Tellie Gozelie mengatakan kasus yang menjerat kedua petinggi KPK dan Polri itu tak diwarnai konflik kepentingan lainnya. Ia berpendapat penangkapan terhadap Bambang Widjojanto sebagai itikad buruk dalam pemberantasan korupsi.
“Kita harus sadar bahwa selama ini KPK dipandang sebagai lembaga yang sudah teruji komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Penangkapan Wakil Ketua KPK jika kemudian tidak dengan bukti yang kuat akan dipandang sebagai upaya balas dendam dan tidak lebih sebagai reaksi kalap dan panik,” ujarnya.
Senator asal Bangka Belitung itu berpandangan menghadapi situasi tersebut, Presiden Jokowi mesti turun tangan sebagai kepala pemerintahan dan negara. Jokowi pun diharapkan mampu memberikan jalan keluar atas kebuntuan situasi tersebut. “Jangan sampai peristiwa yang melibatkan kepolisian dan KPK ini menjadi Cicak VS Buaya jilid III,” ujarnya.
Menanggapi situasi perseteruan KPK dan Polri, Presiden Jokowi meminta agar kedua lembaga penegak hukum itu tetap menjalankan proses hukum secara objektif sesuai aturan perundang-undangan. Jokowi meminta KPK dan Polri bekerja beriringan dan tetap menghindari gesekan satu sama lain. “Saya meminta agar institusi Polri-KPK tidak terjadi gesekan dalam menjalankan tugas masing-masing,” ujarnya seusai bertemu dengan pimpinan KPK dan Wakapolri di Bogor.
Pertemuan dengan pimpinan KPK dan Wakapolri itu digelar setelah penangkapan Bambang Widjojanto oleh penyidik Bareskrim. Sikap Presiden Jokowi terhadap situasi yang memanas seolah tak tegas. Padahal masyarakat membutuhkan tindakan nyata presiden agar membuat jalan tengah, sehingga perseteruan kedua lembaga dapat segera diatas. Sebab dengan begitu, pemberantasan korupsi bakal terus berjalan tanpa terganggu persoalan perseteruan kedua lembaga.
Kecam penangkapan
Penangkapan terhadap Bambang Widjojanto mendapat kecaman dari berbagai kalangan. Masyarakat pendukung pemberantasan korupsi berkumpul di Gedung KPK, Kuningan Jakarta Selatan. Ketua tim penasihat hukum Bambang Widjojanto, Nusyahbani Katjasungkana mengatakan penangkapan terhadap Bambang Widjojanto terbilang cepat. Ia mencatat, laporan Sugianto Sabran tertanggal 19 Januari. Kemdian surat penggeledahan diterbitkan Bareskrim tertanggal 20 Januari, sedangkan surat penangkapan tertanggal 22 Januari. “Jadi ini supercepat. Tapi entah kenapa tiap KPK memeriksa oknum polisi polanya berulang seperti kasus Susno Duadji,” ujarnya.
Nursyahbani berpandangan kasus yang menjerat Bambang Widjojanto tak terlepas dari peran lembaga antirasuah itu dalam menangani kasus dugaan gratifikasi yang menjerat calon Kapolri, BG. “Iya bisa dikatakan seperti itu, tapi ada konteks politiknya,” imbuhnya.
Ia mengancam, jika Bambang sampai 1 x 24 jam tak dilepas dari ‘cengkraman’ Bareskrim, tim penasihat hukum yang beranggotakan lebih dari 60 orang itu akan mengajukan penangguhan penahanan. Malahan, tim penasihat hukum Bambang Widjojanto bakal mengajukan praperadilan.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai penangkapan itu tak wajar. Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi W. Eddyono mengatakan dasar melakukan tindakan penangkapan adalah KUHAP. Merujuk Pasal 16 dan 17 KUHAP sudah terang benderang memberikan petunjuk penangkapan dilakukan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana setelah terdapat alat bukti yang cukup. “Dengan kata lain, proses penangkapan tidak dilakukan semudah membalikkan telapak tangan, ada syarat dan ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi polisi,” ujarnya.
Polisi dalam melakukan penangkapan mestinya melakukan proses yang mesti dijalani terlebih dahulu. Lagi pula, proses dari waktu laporan pelapor hingga penangkapan hanya berselang empat hari. Meski polisi berdalih telah memiliki tiga alat bukti yang cukup dalam penetapan tersangka, bukan sebaliknya langsung melakukan penangkapan.
Semestinya, penyidik dapat melakukan pemanggilan pertama dan kedua serta ketiga. Jika tak hadir, maka Polri dapat melakukan pemanggilan paksa. “Bila tidak (sesuai prosedur, red), itu artinya polisi telah menggunakan kekuasaanya secara sewenang-wenang. ICJR dengan ini mengecam penangkapan tanpa prosedur yang jelas oleh Polisi” pungkasnya.
0 komentar:
Posting Komentar